Rabu, 31 Oktober 2012

ARTIKEL AKK




ARTIKEL AKK


UNRAS.GIF


Di Susun Oleh :
TARMUJI RASUL
NPM 10010192P





FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS RATU SAMBAN
ARGAMAKMUR BENGKULU UTARA
2012


DAFTAR ISI

1.      Halaman judul............................................................................... i
2.      Daftar isi........................................................................................ ii
3.      Abstrak.......................................................................................... 1
4.      Pengantar...................................................................................... 4
5.      Bahan dan cara penelitian........................................................... 6
6.      Pembahasan.................................................................................. 17
7.      Kesimpulan dan Saran................................................................. 22
8.      Daftar pustaka.............................................................................. 23


 


EVALUASI KEBIJAKAN  PENEMPATAN TENAGA KESEHATAN DIPUSKESMAS SANGAT TERPENCIL DI KABUPATEN BUTON
THE EVALUATIONOF HEALTH FORCE DEPLOYMENT POLICY IN THE VERY REMOTE
COMMUNITYHEALTH CENTER INBUTON REGENCY

ABSTRACT

Background: One of the important elements and very determining for becoming innovator in the effort of increasing the quality of health service is the health force. The deployment of health force especially in the very remote public health center is meant for the generalization of health service, but in fact the placement of health force policy in the very remote
public health center in Buton Regency is not yet flattened yet. Besides, the interest and motivation of those who are placed in the are very low.
Purpose: Analyse the placement of health force policy in the very remote public health center in Buton Regency.
Method: It is a descriptive research, with qualitative method to evaluate the placement of health force policy in the very remote public health center in Buton Regency.
Result: The placement of doctor, nurse, and midwife policy in the very remote public health center should be supported by
supporting facilities namely off ice and of fice vehicle. The placement policy is influenced by geographical factor and the intervention of stakeholders in the regency. Doctor, nurse and midwife forces placed in the very remote public health center do not have retention to stay and work in the very remote public health center.
 Conclusion: The deployment of health force policy can not overcome the lack of health force in the very remote public health center yet. The small incentive and the indefinite of carrier development and the low appreciation are the main reason why the health forces do not have retention, so that the very remote public health center lacks of health force.
Keywords: placement policy, financial, supporting facilities, force retention
ABSTRAK

Latar Belakang: Salah satu unsur penting yang sangat menentukan dan diharapkan dapat menjadi inovator bagi upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah tenaga
kesehatan. Penempatan tenaga kesehatan khususnya di puskesmas sangat terpencil dimaksudkan untuk pemerataan pelayanan kesehatan, namun kenyataannya kebijakan
penempatan tenaga kesehatan di puskesmas sangat terpencil di Kabupaten Buton belum merata, disamping itu minat dan motivasi tenaga kesehatan yang ditempatkan di puskesmas
sangat terpencil sangat kurang, kalaupun ditempatkan tidak akan bertahan lama, yang dapat dilihat dari tingginya permintaan pindah tugas di daerah perkotaan sehingga terjadi penumpukan tenaga di puskesmas perkotaaan.
Tujuan: Untuk mengetahui kebijakan penempatan tenaga kesehatan di puskesmas sangat terpencil Kabupaten Buton
Metode: Merupakan penelitian deskriptif, dengan metode kualitatif untuk mengevaluasi kebijakan penempatan tenaga kesehatan di puskesmas sangat terpencil di Kabupaten Buton.
Hasil : Kebijakan penempatan tenaga dokter, bidan dan perawat di puskesmas sangat terpencil didukung oleh sarana penunjang yakni rumah dinas dan kendaraan dinas. Kebijakan penempatan terkendala faktor geograf is dan intervensi stakeholders didaerah. Tenaga dokter, bidan dan perawat yang ditempatkan tidak retensi tinggal dan bekerja di puskesmas sangat terpencil. Kecilnya penghasilan karena tidak tersedia insentif , pola pengembangan karir yang tidak jelas dan tidak adanya penghargaan bagi mereka yang bekerja di puskesmas sangat
terpencil merupakan alasan penting untuk pindah. Perpindahan dilakukan baik antar puskesmas maupun lintas wilayah.
Kebijakan penyediaan sarana penunjang belum mampu membuat tenaga retensi tinggal dan bekerja di puskesmas sangat terpencil.
Kesimpulan : Kebijakan penempatan tenaga kesehatan belum dapat mengatasi kekurangan tenaga di puskesmas sangat terpencil. Tidak adanya insentif dan ketidakjelasan pengembangan karir dan penghargaan bagi mereka merupakan penyebab tenaga tidak retensi, sehingga di puskesmas sangat terpencil kekurangan tenaga.
Kata Kunci: kebi jakan penempatan, f inansial, sarana penunjang, retensi tenaga


























PENGANTAR

Harapan diberlakukannya desentralisasi bidang kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan di samping bertujuan agar pemerintah kabupaten/kota dapat mengelola sumber daya manusia (SDM) dengan baik, sehingga permasalahan-permasalahan di bidangSDMseperti penempatan tenaga yang t idak merata, ketidaksesuaian jenis dan jumlah tenaga yang dibutuhkan dapat teratasi. Dinas Kesehatan Kabupaten Buton adalah unsur pelaksana pemerintahdaerahyangmempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan otonomi daerah dibidang kesehatan dengan fungsi:
1) merumuskan kebijakan teknis bidang kesehatan;
2) pemberian perizinan dan pelayanan umum;
3) pembinaan terhadap UPTD di bidangkesehatan; pengelolaan urusan ketatausahaan
dinas. Untuk melaksanakan fungsi tersebut diperlukan SDM yang potensial dan produktif.
Pemerataan tenaga kesehatan merupakan suatu masalah di Kabupaten Buton yang sampai
saat ini belum teratasi. Jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas di wilayah kepulauan sangat kurang dibandingPuskesmas perkotaan. Rasio jenis tenaga kesehatan (dokter, dokter gigi, bidan perawat, dan lain-lain) terhadap 100.000 penduduk yang harus dilayani masih kurang seperti angka rasio tenaga dokter 4,4 per 100.000 penduduk masih jauh di bawah rata rata rasio nasional 27,13 per 100.000 penduduk. Penempatan tenaga yang tidak merata telah mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan kesehatan di daerah terpencil.
Hasil kajian Balitbangkes bahwa sistempenempatan dokter PTT dinilai belum efektif untuk menjawab kebutuhan peningkatanmutu pelayanan kesehatandan efisiensi manajemen program.
Dari segi efektivitas penempatan tenaga kesehatan bahwa minat dan motivasi tenaga kesehatan yang ditempatkan di Puskesmas sangat terpencil sangat kurang, kalaupun ditempatkan tidak akan bertahan lama yang dapat dilihat tingginya permintaan pindah tugas di daerah perkotaan, sehingga Puskesmas di perkotaan turnover sementara Puskesmas sangat terpencil kekurangan tenaga. Kekosongan tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil dan semi terpencil karena tidak ada kebijakan
pemberian insentif bagi barbagai jenis tenaga kesehatan (bidan, perawat, dokter dan lain lain).
Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi kebijakan penempatan tenaga kesehatan di Puskesmas sangat terpencil di Kabupaten Buton.

























BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode wawancara mendalam. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Buton
Propinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi ini dipilih karena sebagian besar Puskesmas di Kabupatn Buton adalah Puskesmas sangat terpencil dan berada di
wilayah kepulauan. Informan penelitian berjumlah 17 orang yang terdiri dari Sekretaris Daerah, Kepala BKD, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Pengembangan danMutasi BKD, Kepala Seksi Kepegawaian Dinas Kesehatan. Informan dari Puskesmas sebanyak 12
orang yang terdiri dari Kepala Puskesmas, Dokter, Bidan dan Perawat di tiga Puskesmas. Pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh
melalui tinjuan dokumen di BKD, Dinas Kesehatan danPuskesmas untukmendapatkan dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Analisis data kualitatif dilakukan dengan cara mentranskrip catatan serta seluruh hasil rekaman wawancara mendalam (indepth interview), kemudian data dirangkumdalam bentuk kategori atau hubungan kategori. Tahap selanjutnya mengelompokkan kategori data kemudian dilihat keterkaitan satu kelompok dengan kelompok lain, lalu dibuat kesimpulan. Data kemudian disajikan dalam bentuk narasi.












HASIL PENELITIAN DANPEMBAHASAN

1. Jumlah dan Rasio Tenaga Dokter, Bidan dan Perawat
Jumlah tenaga perawat lebih besar dibanding tenaga dokter dan bidan. Jumlah tenaga dokter pada tahun 2005 mengalami penurunan dan tahun 2006 jumlahnya tetap, sementara jumlah tenaga bidan dan perawat dari tahun 2004 sampai 2006 terus mengalami peningkatan.Demikian pula dengan rasio jenis tenaga.


Tabel 1. Jumlah dan Rasio Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Buton Tahun 2004 – 2006


Tahun

Jumlah
Penduduk
Dokter
Bidan
Perawat
Jumlah
Rasio
Jumlah
Rasio
Jumlah
Rasio
2004
265724
14
5,27
47
17,69
167
62,8
2005
270100
11
4,07
62
22,95
173
64,05
2006
271657
11
4,05
97
35,31
223
82,09
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Buton

Gambaranmengenai kecukupan tenaga dokter, bidan dan perawat yang ada di Puskesmas adalah dengan melihat rasio tenaga tersebut di unit pelayanan Puskesmas per 100.000 penduduk. Pada tahun 2006 rasiodokter 4,0/100.000penduduk.Rasio tesebut masih di bawah rata-rata rasio nasional yaitu 27,13/100.000 penduduk. Demikian pula dengan rasio tenaga bidan dan perawat di Kabupaten juga masih di bawah rata-rata rasio nasional.Rasio bidan adalah 22,5/100.000 penduduk sementara rasio nasional 59,08/100.000 penduduk dan rasio perawat adalah 82,1/100.000 penduduk, sedangkan rasio tenaga perawat dan rasio nasional yakni 112,16/ 100.000 penduduk. Distribusi tenaga dokter, bidan dan perawat di
Puskesmas di Kabupaten Buton tidak merata,sebagian besar tenaga dokter tersebar di wilayahdaratan baik Puskesmas terpenci l maupun Puskesmas sangat terpencil. Jumlah tenaga dokter tahun2004adalah14orang, yang bertugasdi wilayah kepulauan 10 orang dan wilayah daratan 2 orang, tahun 2005 jumlah tenaga dokter 11 orang (wilayah kepulauan 3 orang dan daratan 8 orang) dan pada tahun2006 jumlah dokter sebanyak 11orang (wilayah kepulauan 1 orang dan daratan 10 orang). Hal ini menujukkan bahwa dari tahun 2004 – 2006 jumlah tenaga dokter yang bekerja di Puskesmas terpecil kepulauan semakin kecil.
Khusus Puskesmas Batu Atas sejak tahun 1998 sampai saat ini belum pernah ditempatkan tenaga dokter, karena Puskesmas Batu Atas merupakan Puskesmas yang paling jauh di antara seluruh Puskesmas yang ada, danmerupakan Puskesmas sangat terpencil di wilayah kepulauan.

2. Retensi Tenaga
Berdasarkan hasil wawancara dan tinjauan dokumen diketahui bahwa sebagian tenaga dokter, bidan dan perawat tidak retensi tinggal dan bekerja di Puskesmas sangat terpenci l khususnya Puskesmas sangat terpencil wilayah kepulauan. Jumlah tenaga dokter yang tidak retensi atau pindah tugas ketempat lain adalah 5 orang (41,67%), bidan 14orang(36,84%), perawat 29orang(20,57%), tahun 2005 jumlah dokter tidak retensi 4 orang (50,00%),
bidan19 orang(36,54%), perawat 36 orang(24,00%), dan tahun 2006 jumlah tenaga dokter yang tidak retensi bekerja di Puskesmas sangat terpencil adalah dokter 2 orang (28,57%), bidan sebesar 20 orang (25,64%) dan jumlah perawat tidak retensi adalah 29 orang (16,02%). Perpindahan dilakukan baik antar Puskesmas dalam wilayah Kabupaten Buton maupun lintas wilayah. Proses pemindahan (mutasi) tenaga kesehatan dapat terjadi karenabeberapafaktor yaitu:
1) adanya aduan dan laporanmasyarakat,
2) untuk pembenahan organisasi,
3) atas usulan atau permintaan tenaga yang bersangkutan.
Perpindahan tenaga kesehatan di Kabupaten Buton seringkali terjadi atas usulan atau permintaan tenaga yang bersangkutan. Tempat tugas yang dituju adalah Puskesmas di wilayah perkotaan. Beberapa penyebab tenaga kesehatan tidak retensi dan ingin pindah ke daerah perkotaan karena ditempat tugas tidak tersedia insentif dan pola pengembangan karir tidak jelas. Alasan lain adalah faktor georafis dan letak Puskesmas sangat jauh dan sebagian besar ditempuh melalui laut, seperti komentar informan berikut.

“....mereka kadang-kadang tidak betah ya karena mungkin jaraknya yang cukup jauh
kemudian juga seperti Batu Atas, Talaga, Siompu ini harus menyeberang juga laut, sehingga mereka kadang kadang ya cepat sekali itu pindah ya seperti ini kalau ada dokter PTT ini ya t idak mau lagi memperpanjang kontraknya ”. (SD)


Tabel 4. Jumlah Tenaga Tidak Retensi di Puskesmas Sangat Terpencil
di Kabupaten Buton Tahun 2004-2006.


Tahun
Dokter

Bidan
Perawat
Jumlah

Tidak
Retensi

Persen

Jumlah
Tidak
Retensi

Persen

Jumlah
Tidak
Retensi

Persen
2004
12
5
41,67
38
14
36,84
141
29
20,57
2005
8
4
50,00
52
19
36,54
150
36
24,00
2006
7
2
28,57
78
20
25,64
181
29
16,02
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Buton

Tabel 5 Hubungan Jarak dan Jumlah Tenaga yang Pindah
di Puskesmas Sangat Terpencil di Kabupaten Buton Tahun 2006

Jarak
Dokter
Persen
Bidan
Persen
Perawat
Persen
Total
Persen
Dekat
1
50,00%
9
45,00%
9
31,03%
19
37,25%
Jauh
1
50,00%
11
55,00%
20
68,97%
32
62,75%
Sumber : Data Dinas Kesehatan


Semakin jauh jarakPuskesmas, semakin tinggi keinginan pindah. Jumlah tenaga pindah dari
Puskesmas yang jauh dari kota yaitu perawat 20 orang (68,97%), bidan 11 orang (55,00%) dan dokter 1 orang (50,00%), sementara Puskesmas yang dekat dengan ibukota kabupaten, jumlah perawat yang pindah adalah perawat 9 orang (31,03%), bidan
9 orang (45,00%), dan tenaga dokter adalah 1 orang (50,00%).
Selain insentif yang tidak tersedia dan faktor geografis, penyebab lain tenaga tidak retensi adalah masalah pengembangan karir. Pengembangan karir bagi pegawai kesehatan di Puskesmas sangat terpencil di Kabupaten Buton saat ini belum ada, masih berupa draf, sementara dalam pembahasan. Adapun polapengembangankarir yang direncanakan adalah tenaga kesehatan yang telah bertugas di Puskesmas sangat terpencil lebih dari 3 tahun, diberikan kesempatan melanjutkan pendidikan dengan ketentuan setelah selesai, kembali bertugas di Puskesmas sangat terpencil minimal 3 tahun, baru bisamutasi ketempat lain. Dari segi keaktifan melaksanakan tugas, beberapa tenaga kesehatan kadangmeninggalka tugas tanpa sepengetahuan kepala Puskesmas sebagai pimpinan kerja di Puskesmas. Bagi tenaga yang meninggalkan tugas diberikan teguran baik lisanmaupun tulisan dalam rangka pembinaan:
”Yaa sebagian besar juga petugas yang ada itu ada yang aktif tapi ada juga yang
meninggalkan tugas akan tetapi bagi tenaga yang meninggalkan tugas kita lakukan
pembinaan baik secara lisan maupun secara tertulis”. (KP2).
Kemangkiran petugas dalam melaksanakan tugas karena minimnya supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Jalannya supervisi juga tergantung dari kesempatan pejabat di Dinas
Kesehatan, serta kadang-kadangsifatnya “dadakan”. Supervisi sering dirangkaikan dengan pelaksanaan kegiatan dinas di Puskesmas, ataupun tergantung situasi berat ringannya suatumasalah di lapangan.
”Eeee sebenarnya tidak, kalau yang saya tahu sih teman-teman itu datang bukan bertujuan langsung sebetulnya kira-kira deh kegiatan kegiatan apa beserta apa program dari Dinas lah datang orang orang dinas sekalian meninjau kita kita di sini yaa dirangkaikan kayak gitu tidak ada apa supervisi khusus, sejauh yang saya tahu ya”(D2).
Dalam pelaksanaan supervisi hanya terfokus pada kelengkapan laporan, belumuntukmengetahui permasalahan yang sering dihadapi petugas dan mencari solusi atau alternatif pemecahannya. Pelaksanaan supervisi biasanya hanya sampai disitu
saja belum menunjukkan adanya umpan balik, serta tindak lanjut sebagaimana supervisi yang efektif.
3. Kebijakan penempatan
Kebijakan tenaga dokter, bidan dan perawat di Puskesmas khususnya Puskesmas sangat terpencil di Kabupaten Buton berdasarkan Keputusan Bupati Buton No. 495/2006 tentang Penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Lingkup Kabupaten Buton dan Keputusan No. 247/2006 tentang Penempatan Tenaga Honorer Daerah Lingkup
Kabupaten Buton. Kebijakan penempatan tenaga di Puskesmas sangat terpencil didasarkan atas pertimbangan luas wilayah, kebutuhan tenaga dan ketersediaan tenaga yang ada serta variasi jenis tenaga. Kebijakan tersebut ditunjang dengan sarana penunjang yang memadai seperti rumah dinas dan kendaraan roda dua sehingga dapat meningkatkan motivasipetugas, seperti komentar responsdenberikut.
”...untuk penempatan tenaga ke sana itu, ya artinya ada perhatian khusus kesana paling tidak ya kita juga berikan fasilitas semacam
kendaraan apakah itu kendaraan roda dua untuk membantu tugasnya di sana,
kemudian juga perioritas untuk rumah tinggal ya para pegawai kita khususnya tenaga tehnis kesehatan ini di daerah daerah itu kita sangat prioritaskan sehingga mereka nanti kalau bertugas di sana itu tidak numpang lagi di rumah penduduk. (SD)
Dalam penempatan tenaga kesehatan di Puskesmas sangat terpencil sering menemui
kendala.Faktor geografismerupakan kendala utama karena jarak Puskesmas sangat jauh dan kadang harus ditempuh melalui kendaraan laut, sehingga tenaga yang ditempatkanmerasa berat dan penuh pertimbangan untuk ke sana, kalaupun terpaksa harus ke sana, mereka tiba di tempat tugas sangat terlambat, kemudian setelah tiba di tempat tugas, belum lama bertugas sudah berusaha untuk minta pindah ke Puskesmas lain, seperti komentar informan berikut.
” Kendala atau hambatan yang sering kita hadapi ialah banyak sekali, misalnya tenaga
bidan eee kalau kita tempatkan tenaga bidan kesana mereka sering terlambat ketempat
tugas, karena mungkin jaraknya cukup jauh seperti Batu Atas atau Talaga dan Puskesmas yang lainnya. Kemudian mereka sering tidak berada ditempat atau eee sering meninggalkan tugas, dan eee kalau habis masa kontraknya sebagian tidak memperpanjang lagi dan ada juga yang perpanjang tapi mintanya yang agak dekatdekat” (DK).

Kendala lain dalampenempatan tenaga adalah dari sisi putra daerah setempat, apabila kebutuhan tenaga di daerah sangat terpencil tidak di penuhi oleh orang asli di daerah tersebut, maka kemungkinan untuk pindah sangat besar. Hal ini diperburuk lagidengan pola pengembangan karir bagi tenaga di Puskesmas sangat terpencil tidak jelas.
”Kalau menurut saya itu, memang harus sepert inya harus anak daerah memang artinya memang dia memang menetap disini artinya tidak ada lagi kemungkinan tidak ada alasan untuk meninggalkan tugas kecuali ada hal hal tertentulah. Kalau menurut saya tentang itu saja karena kalau untuk yang lain lainnya sudah, karena fasilitas lainnya semua telah terpenuhi”(B2).
Akibat permasalahan penempatan tenaga tersebut di atas, distribusi tenaga di Puskesmas tidak merata. Puskesmas di wilayah perkotaan kelebihan tenaga sementara Puskesmas sangat terpencil di wilayah kepulauan kekurangan tenaga. Untuk mengatasi kekurangan tenaga di Puskesmas sangat terpencil, menurut salah satu informan:
”bahwa perlu merekrut tenaga kesehatan yang sudah siap pakai seperti dokter, bidan
dan perawat yang belum terkafer di PNS sebagai tenaga kontrak . Mereka ini nantinya
diberi gaji atau honor melalui APBD untuk dipekerjakan di daerah”.
a. Birokrasi Penempatan
Mekanisme penempatan tenaga kesehatan pusat dan daerah terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Dinas Kesehatan dalam menangani penempatan tenaga Departemen Kesehatan pusat tidak
berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), demikian pula sebaliknya BKD dalam menempatkan tenaga kesehatan daerah tidak melibatkan DinasKesehatan sebagai instansi teknis untuk memberikan pert imbangan. Hal ini menunjukkan sistemkoordinasi penempatan tenaga kesehatan sangat jelek. Selain itu, mekanisme penempatan tenaga dari pusat juga dikeluhkan oleh informan karena prosesnya berbelit-belit dan menguras tenaga, serta sangat lama. Hal ini karena untuk ke tempat tugas harus melalui propinsi, kabupaten dan selanjutnya ke tempat tugas. Dinas kesehatan dalam menempatkan tenaga dokter, bidan dan perawat selalu memprioritaskan Puskesmas sangat terpencil yang kurang diminati, namun pembuatan Surat Keputusan (SK) penempatan merupakan wewenang pemerintah
daerah dalamhal ini BKD. Calon pegawai yang telah mendapat SK penempatan melapor ke Dinas Kesehatan, kemudianDinasKesehatanmenempatkan kembali sesuai SK yang di buat oleh Pemda. Dinas Kesehatan terpaksamenerima penempatan petugas yangsudahditetapkandenganSKPemda,walaupada kenyataannya SK yang dibuat tidak sesuai dengan usulanDinasKesehatan sebelumnya. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dalam
memberikan keputusan tidak independen karena adanya intervensi dan tekanan dari stakeholders di daerah yangmenginginkan keluarganyaditempatkan di Puskesmas perkotaan. Sebagai contoh adanya memo dari seorang pejabat dalam berkas permohonan calon PNS yang sebelumnya telah dibuatkan SK penempatan ke Puskesmas sangat terpencil, akan tetapi karena adanya memo yang berisi agar tenaga bersangkutan ditempatkan di Puskesmas perkotaan dengan alasan tertentu, seperti komentar berikut.
”Sebenarnya kalau pertimbangan penempatan tenaga kesehatan dilakukan
seobyek mungkin, art inya tidak ada kepentingan seseorang di situ, misalnya
adanya permintaan seseorang eee agar kemenakan atau saudaranya ditempatkan di
Puskesmas yang dekat dengan ibu kota kabupaten, maka jumlah tenaga di daerah
terpencil eeee di Puskesmas sangat terpencil itu dapat terpenuhi dan memadai”.(KD)

b. Finansial dan Sarana Penunjang
Penempatan tenaga kesehatan di Kabupaten Buton didukung oleh pembiayaan kesehatan berupa gaji dan insentif, serta sarana penunjang seperti rumah dinas beserta perabotnya dan kendaraan roda empat, akan tetapi kebijakan ini hanya berlaku kepada dokter spesialis yang bertugas di RSUD Kabupaten Buton. Untuk tenaga kesehatan di Puskesmas khususnya Puskesmas sangat terpencil perhatian pemerintah daerah baru sebatas sarana
penunjang yaitu rumah dinas dan kendaraan dinas. Pemberian insentif berupa honor sebagai tambahan penghasilansudahmasuk dalamrencanaAPBDtahun 2008. Itupunbarusebatastenagadokter.Untuk tenaga kesehatan lainnya akan diupayakan secara bertahap disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah.
”Yaa memang aaa sampai saat ini memang belum yaa, hanya sudah kita rencanakan
kedepannya. Sekarang kan proses penyusunan anggaran jadi ya ini sudah kita
sudah masukkan ke dalam rencana anggaran kita ke depan kita berikan tambahan
penghasilan untuk tenaga tenaga tehnis di kesehatan ini tapi untuk tahap awal, mungkin tenaga dokter dulu yang baru kita masukkan ini kedepannya ya bisa saja untuk bidan atau untuk aaa perawat. Itu nanti kita lihat dalam kemampuan keuangan daerah “ (SD, DK)

Penyediaan sarana penunjang di Puskesmas sangat terpencil ditanggapi berbeda oleh beberapa informan, bahwa penyediaan sarana penunjang antara Puskesmas sangat terpencil dengan Puskesmas terpencil sama saja. Penyediaan sarana pununjang tersebut bukan merupakan bentuk perhatian pemerintah daerah terhadap Puskesmas sangat terpencil tetapi lebih kearah pemerataan sarana di Puskesmas.
”Sepertinya tidak ada perbedaan, kayaknya sama, kalau dilihat dari gajinya sama semua, aaa kemudian eee fasilitas itu seperti disana ada motor disini juga ada motor, jadi kayaknya sepertinya apa yaa kalau perhatian khusus itu karena kalau pembagian motor baru baru ini saya pikir semuanya juga dapat, maksudnya setiap kecamatan itu ada” (B2, B3)
Komentar di atas direspons oleh informan lain bahwa perhatian pemerintah daerah terhadap
Puskesmas sangat terpencil tetap ada khususnya penyediaan sarana penunjang, seperti dalam
pembagian kendaraan Puskesmas terpencil tidak semua dapat, akan tetapi khusus Puskesmas sangat terpencil semuamendapatkan.
”Perlakuan khusus, hanya dari segi fasilitas, yang saya dengar, untuk Puskesmas yang
terpencil itu kayak gitu mereka aaa ada yang tidak dapat kayak rumah dinas atau kendaraan dinas kalau untuk yang sanga terpencil sejauh yang saya tau semua rata rata dapat”. (D2, P1).
Tenaga kesehatan di daerah terpencil sangat mengharap perhatian pemerintah. Bentuk perhatian bukan hanya dalam penyediaan sarana penunjang, akan tetapi yang terpenting adalah insentif karena dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja di Puskesmas.




























PEMBAHASAN

1. Retensi Tenaga

Puskesmas di KabupatenButon kurang diminati oleh tenaga kesehatan karena keterpencilannya. Kecilnya penghasilan yang diterima karena tidak adanya insentif berupa honor sebagai tambahan penghasilan di luar gaji merupakan alasan penting untuk pindah. Insentif sebagai tambahan penghasilan merupakan suatu kebutuhanmendasar bagi tenaga
kesehatan di Puskesmas sangat terpenci l Kabupaten Buton. Dengan adanya insent if
diharapkan dapatmemperbesarminat danmotivasi, serta meningkatkan ’daya tahan’ sumber daya kesehatan untuk ditempatkan di Puskesmas sangat terpencil. Keadaan geografis yaitu jarak sangat jauh dan berada di kepulauan jugamengurangi retensi tenaga. Semakin jauh atau semakin sulit lokasi tempat tugas semakin tinggi keinginan pindah. Hasil riset tentang
kelangsungan pekerja kesehatan di pedesaan Scotlandia menemukan mereka yang bekerja di pedesaanmerasa lebih terisolasi dibanding di kota kecil. Kondisi tempat kerja yang serba terbatas, mengakibatkan ketidakpuasan, sehingga mereka ingin meninggalkan pekerjaannya.3 Keadaan ini diperburuk lagi dengan pola pengembangan karir yang tidak jelas serta tidak ada penghargaan bagi mereka yang bekerja di Puskesmas sangat terpencil dengan medan sulit. Secara logis perpindahan dengan alasan pengembangan karir dapat diterima karena seseorang perlu aktual isasi diri dan mengembangkan karir untuk memperbaiki nasib mereka. Faktor pengembangan diri merupakan alasan penyebab pindah kerja.4 Oleh karena itu, pengembangan karir di Puskesmas harus jelas sehingga tenaga di Puskesmas sangat terpencil
benar-benar memiliki peluang yang sama untuk merencanakanmaupunmenempuh karirnya.
Upaya pemerintah daerahmenyediakanfasilitas penunjang (rumah dinas dan kendaraan dinas) bagi tenaga dokter, bidan dan perawat dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas ternyata belum mampumeningkatkan retensi (daya tahan) tenaga kesehatan tinggal dan bekerja di Puskesmas sangat terpencil atau dengan kata lain bahwa keinginan pindah tenaga dokter, bidan dan perawat tidak dipengaruhi oleh adanya fasilitas penunjang. Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Setiawati5 yang menemukan karakteristik fasilitas
berhubungan dengan turn over, semakinbaik fasilitas organisasi semakinmemperkecil intensi turn over, namun perbedaan pelitian ini dapat terjadi karena penyediaan fasilitas kerja telahmemadai danmerata di seluruh Puskesmas termasuk Puskesmas sangat terpencil. Tenaga kesehatan di Puskesmas sangat terpencil memandang bahwa fasilitas kerja bukan merupakan hal yangpenting dalamkaitannya dengan keinginan pindah atau tetap bertahan. Perpindahan tenaga kesehatan akan semakin menambah permasalahan baik Puskesmas yang ditinggalkan maupun Puskesmas yang dituju. Puskesmas yang dituju kelebihan tenaga sementara
Puskesmas yang ditinggalkan kekurangan tenaga. Beberapa strategi untukmengatasi retensi atau daya tahan tenaga kesehatan di Puskesmas sangat terpencil antara lain: 1) pemberian insentif tenaga kesehatan di Puskesmas sangat terpencil secar adil, wajar, dan transparan berdasarkan tingkat kesulitan wilayah tersebut, 2) penempatan tenagakesehatan dilakukan dengan pertimbangan putra daerah sehingga mereka diharapkan bisa retensi tinggal dan melaksanakan tugas di Puskesmas sangat terpencil, 3) pengembangan karir petugas
kesehatan di Puskesmas sangat terpencilmendapat perhatian serius pemerintah daerah seperti
kesempatan melanjutkan pendidikan, kemudahan dalam urusan kepegawaian, penghargaan kepada mereka yang berprestasi dan peluang untuk dipromosikan dalam suatu jabatan tanpa
mengabaikan paraturan yang berlaku, 4) alokasi anggaran operasional Puskesmas lebih berpihak kepada Puskesmas sangat terpencil dengan mempertimbangkan kelayakan harga, sehingga pelaksanaan kegiatan berjalan lancar. Pelaksanaan strategi dilaksanakan secara
bertahap disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Dengan strategi di atas diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan meningkatkan retensi tenaga kesehatan untuk tinggal dan melaksanakan tugas di Puskesmas sangat terpencil. Dengan demikian, permasalahan kekurangan tenaga di Puskesmas sangat terpencil dapat teratasi.

2. Kebijakan Penempatan Tenaga

Distribusi tenaga yang tidakmerata terjadi pada daerah-daerahtertinggal/terpencil, rawan kerusuhan, dan bencana alam serta daerah pemekaran.6 Demikian pula di Kabupaten Buton sebagian besar Puskesmas yang dikunjungi khususnya Puskesmas terpencil mengatakan kekurangan tenaga. Rasio tenaga dokter, bidan dan perawat per 100.000
penduduk masih kurang dan di bawah standar nasional. Tenaga kesehatan yang ada lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan. Hal ini dimungkinkan Puskesmas perkotaan ekonominya lebih baik dan sangat menjanjikan dibanding Puskesmas sangat terpencil. Faktor ekonomi dan masalahkeluargamenyebabkan petugas lebih betah untukmemilih bertugas di kota.7 Kesenjangan tenaga kesehatan di Puskesmas sangat terpencil semakin besar karena buruknya koordinasi penempatan tenaga kesehatan dari pusat dan daerah yangdilaksanakan oleh Dinas Kesehatan dan BKD.8 Ciri adanya koordinasi yang berhasil adalah tumbuhnya kesadaran di antara pejabat yang saling kerja sama dan membantu, adanya komunikasi yang saling menguntungkan, tidak terjadi saling melempar tanggung jawab atau mengambil tanggung jawab yang tidak semestinya dan tidak ada ego sektoral.9 Menurut hasil wawancara dan pengamatan di lapangan bahwa selama ini kebijakan penempatan tenagadilakukanbelumdapatmemenuhi pemerataan tenaga di Puskesmas sangat terpencil. Kebijakan yang dibuat belumberpihak padaPuskesmas sangat terpencil masih bersifat umum serta berorientasi jangka pendek. Hal ini dapat diketahui dalam perencanaan dan penempatan tenaga kesehatan di Puskesmas sangat terpenci l belum mempertimbangkan sisi putra daerah, dukungan pembiayaan terhadap tenaga di Puskesmas sangat terpencil relatif kecil dan ketergantungan dari pemerintah pusatmelalui tenaga PTT sangat besar dalammengatasi kekurangan tenaga. Beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk mengatasi kekurangan tenaga di Puskesmas sangat terpencil di antaranya adalah contracting out, baik kontrak secara tim ataupun grup. Di dalam tim atau grup tersebut termasuk didalamnya tenaga dokter,
bidan dan perawat. Contrating out dalam bidang kesehatan secara umum didef inisikan adalah pembangunan dan pengimplementasian perjanjian yang di setujui oleh satu pihak (pembeli atau kontraktor) yangmemberikan kompensasi kepada pihak lain (agen atau provider) dalam rangka pelaksanaan pelayanan kesehatan untuk masyarakat tertentu.10 Contrating out dapat menjawab keterbatasan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, dapat meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, pemberi pelayanan dikontrakkan kepada pihak ketiga. Beberapa alasanmengapa perlu contractingout
yaitu: 1) dapatmemisahkanperansebagai pembayar dan pembeli dan peran sebagai penyedia pelayanan serta mengaitkan pembayaran dengan kinerja penyedia pelayanan, 2) contracting outmemaparkan para penyedia pelayanan kepada pasar kompetitif. Struktur pasarmemberikan pengaruh besar terhadap perilaku penyediapelayanan, sehinggamenimbulkan
tekanan kepada pemberi pelayanan pemerintah maupun swasta untuk meningkatkan kinerja, baik dalam pelayanan maupun harga, 3) mendorong perencanaan yang lebih baik, dipihak pembayar/ pembeli pelayanan maupun kontraktor penyedia pelayanan karena dengan contracting out baik pemberi kontrak maupun kontraktor memfokuskan kepada pencapaian hasil yang terukur dan obyektif, 4) mengurangi kerepotan pemerintah dalam memberikan pelayanan, sehingga pemerintah dapat lebihmemfokuskan kepada peran penting stewardship
seperti perencanaan, penetapan standarmutu, regulasi dan pembiayaan.113.

Finansial dan Sarana Penunjang
Penetapan pendapatan tenaga kesehatan strategis seperti dokter, bidan dan perawat dengan standar gaji pegawai negeri, memaksa tenaga kesehatan tersebutmencari pendapatan di luar untuk menambah penghasilan, akibatnya tugas pokok sebagai pegawai negeri di Puskesmas terbengkalai karena sering ditinggalkan demimengejar tambahan penghasilan yang lebih besar. Beberapa ahli
mengatakan bahwa pemberian gaji pokok (basic salary) hanya dapatmembuat para pekerjamerasa aman, namun tidakmampumemberikanmotivasi. Insentif dalam bentuk uang (finansial) dan non-uang (non-finansial) termasuk salah satu faktor motivasi ekstrinsik yang dapatmeningkatkan kinerja provider bidan dalam pelayanan antenatal, akan tetapi pemberianimbalan langsungdengankinerja. 12Dalam memberikan pelayanan kepada pasien tidak dapat dihindarkan munculnya insentif keuangan untuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Hal ini terjadi pada sistem pembayaran free for service, sistem pelayanan inimengandung pengertian bahwa dokter dibayar berdasarkan tindakan.8 Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dan sebagai ujung tombak dalam memberikan pelayanan kesehatan kepadamasyarakat ditingkat kecamatan, sehingga pemerintah daerah
memikirkan insentif tenaga tersebut baik insentif finansial maupun non-finansial, besarnya insentif berbeda beda disesuaikan dengan tingkat kesulitan wilayah tersebut dan kinerja sesorang, karena upah atau imbalan yang langsung terkait dengan kinerja dapat memotivasi perbaikan dari kinerja individu karyawan.13 Akan tetapi sebaliknya apabila pemberian imbalan tersebut tidak adil, tidak jelas dan transparan,maka dapatmenyebabkan rusaknya motivasi kerja atau kinerja seseorang. Jika seseorang telah termotivasi, maka akan berusaha mencapai
tujuan organisasi. MenurutAyuningtyas2 berbagai bentuk alternatif
pemberian insentif, baik insentif finansial dan non finansial yang diminati tenaga kesehatan, agar dapat meningkatkan minat dan motivasi kerja di
Puskesmas sangat terpencil adalah:

1. Finansial
- Uang: tunjangan bulanan, asuransi jiwa dan tunjangan cuti
- Perumahan: rumah dinas atau disediakan untuk kontrak
- Kendaraan: kendaraan dinas rodadua, roda empat dan kendaraan operasional
- Fasilitas komunikasi: telepon dan Internet
- Fasilitas hiburan: televisi, VCD.

2. Non finansial
- Peluang pendidikan lanjutan atas biaya pemerintah
- Peluangmengikuti pendididkan dan latihan
- Peluang mendapatkan kenaikan pangkat istimewa untuk PNS
- Peluang diangkatmenjadi pegawai negeri sipil atau pegawai tetap
- Peluang peningkatan karir.

3. Kombinasi
Insentif diberikan dalam bentuk kombinasi finansial dan non finansial sebagai yang paling sering digunakan. Pemilihan bentuk pemberian insentif tersebut
di atas disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan keuangan daerah, baik bentuk tunggal maupun kombinasi. Pada prinsipnya pemberian insentif harus memenuhi kejelasan tujuan dan sasaran, prinsip keadilan dan prinsip kompensasi, dan prinsip kejelasan skala waktu. Bila bentuk insentif (material dan non-material) sesuai dengan kebutuhan atau harapan tenaga kesehatan maka insentif dapat mengeliminir kekurangan pada kondisi geografis, serta dapatmeningkatkanminat danmotivasi tenaga kesehatan untuk bekerja di daerah yang kurang diminati, terpencil atau sangat terpencil. Tentunya dituntut pula komitmen dari pemerintah daerah untuk memberikan dukungan finansial ataupun kepastian hukum agar pola insentif yang akan dibangun dapat
diberlakukan dalammekanisme kompensasi/reward dan sanksi secara efektif.













KESIMPULAN DAN SARAN

Kebijakan penempatan tenaga belum berpihak pada Puskesmas sangat terpencil masih bersifat umum dan berorientasi jangka pendek. Sebagian tenaga kesehatan tidak retensi tinggal dan bekerja di Puskesmas sangat terpenci l . Keci lnya penghasilan yang diterima karena tidak adanya insentif merupakan alasan penting untuk pindah, selain faktor geografis, pengembangan karir dan penghargaan yang tidak jelas. Upaya pemerintah daerah dalampenyediaan sarana penunjang berupa rumah dinas dan kendaraan dinas tidak berpengaruh terhadap retensi tenaga di Puskesmas sangat terpencil. Disarankan pemerintah daerah perlunya memikirkan pemberian insentif berupa honor bagi tenaga kesehatan di Puskesmas sangat terpencil secara adil danwajar. Penempatan tenaga sebaiknya memprioritaskan putra daerah setempat agar dapat memperbesar minat dan mot ivasi , serta meningkatkan retensi tenaga yang ditempatkan diPuskesmas sangat terpencil. Untuk mengatasi kekurangan tenaga di Puskesmas sangat terpencil, pemerintah daerah perlu mengambil kebijakan rekrutmen tenaga kesehatan dengan sistimcontracting out, dengan caramengontrakkan kepihak ketiga. Contracting out dapat menjawab keterbatasan kapasitas pemerintah, sehingga pemerintah dapat lebihmemfokuskan kepada peran penting stewardship seperti perencanaan, penetapan standarmutu, regulasi dan pembiayaan.












DAFTAR PUSTAKA


1.      Mulyawan. Dampak Kebijakan Desentralisasi pada Perencanaan Kebutuhan Tenaga di Rumah Sakit Tabanan Bali . Tesis S2, KMPK, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.2002.
2.      Ayuningtyas, D. Sistem Pemberian Insentif yang Berpihak Pada Sumber DayaManusia di Daerah Terpencil : Studi Kasus Propinsi Lampung, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2006;09(02) Juni:87-93.
3.       Ricards, H.M, Farmer, J., Selvaras, S., Sustaining The Rural Primary Health Care Workforce:Survey of Healthcare Professional in The Scottish Highlands, Rural and Remote Health. 2005.   Available from:http//www.rrh.org.au/published/articles  Diakses pada 9Maret 2008.       
4.      Stilwell, B.,Diallo, K.,Zurn, P., Vujicic, M., Adam, O. and Dal P.M. Migration of Healthcare Worker Health Developing Countries: Strategic Approaches to Its Management, Bulletin of  The WHO, The International  Journal of Public Health,2004;82(8):595-600,     Available from:http://www.who.int/buletin/82/8/en/595 Diakses pada 5Maret 2008.
5.       Setiawati, F.R.T., Analisis Turnover Tenaga Keperawatan Rumah Sakit Santo Yusuf Bandung, Tesis, Program Magister Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2000.
6.       Supari S.T., Sistem Tenaga Kesehatan Harus Diperbaiki. 2006. Available from: <http://www.suarapemabaharuan.com> Diakses pada 7 Juni 2007.
7.      Trisnantoro, L., Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit Antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar, Edisi Pertama, Andi, Yogyakarta.2005.
8.      Trisnantoro, L. Desentralisasi Kesehatan Di Indonesia dan Perubahan Fungsi pemerintah : 2001-2003: Apakah Merupakan Periode Uji Coba? Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 2005.
9.      Wijono. Manajemen Kepemimpinan dan Organisasi Kesehatan:Dasar-Dasar Bimbingan, Airlangga University Press, Surabaya. 1997.
10.  Liu, X., Hotckiss, R.D., Bose, S., Bitran, R. & Giedion, U. Contracting for Primary Health Services: Evidence on Its Effects and A Framework for Evaluation. 2004.Available from: <http://www.phrplus.org> Diakses pada 12 Maret 2008.
11.  Murti, B.Contracting Out Pelayanan Kesehatan: Sebuah Alternatif Solusi Keterbatasan Kapasitas Publik, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2006;09(03) September:109-117.
12.  Fort, A.L. Factors Affecting the Performance Health CareProvider inArmenia, Journal of Bio Med Central, 2004;2 (8) June:1-11.
13.  Dessler.HumanResourceManagement.Prentic – Hal. Inc.A. Simon & Schuster Company, New Jersey. 1997.